The Book of Journey: Twenty (Seven) Teen

Sinta Mind Palace
5 min readDec 31, 2023

“Something which we thinks is impossible now is not possible in another decade” Constance Baker Motley

Source : f7a050a7c171ab322179daef213d7de3.jpg (564×564) (pinimg.com)

Saya selalu berpikir bahwa setiap orang memiliki angka spesialnya sendiri. Seperti Taylor Swift dengan 13 nya, maka saya bisa dengan lantang mengatakan bahwa 7 adalah angka istimewa saya, karena setiap hadirnya akan selalu membawa perubahan signifikan dalam hidup, jiwa, dan dunia yang saya miliki, change the impossible into Im-possible.

Seven, my first patriarchy experience and proud extraordinary daily news reader

Masih terngiang dalam benak bahwa sedari balita, saya seringkali mengaku berusia ‘tujuh tahun’. Tentu saja saya mengucapkannya dengan yakin dan percaya diri yang tinggi seakan hanya saya saja, manusia yang memiliki kebenaran absolut. Waktu itu saya menganggap bahwa ketika menginjak usia tujuh tahun, maka saya akan dewasa, sehingga harus bisa membaca, berhitung, bahkan memiliki teman dari kelas satu hingga SMP. Ini salah satu bentuk upaya validasi diri untuk mendapatkan ‘spotlight’. Salah satu upayanya adalah dengan pedenya menjadi ketua geng berandalan SD yang kerjaannya berantem dengan pembully, mengajukan diri berkali kali untuk memimpin kelompok, hingga jadi petugas upacara.

Menjadi berandalan mungkin akan saya ceritakan di lain waktu, tapi kali ini saya ingin berbagi ketika pertama kali saya mengenal patriarki yang menumbuhkan benih benih ‘curiosity’ yang tumbuh hingga kini.

Waktu pertama kali pindah dari sumatera ke Jawa, saya cukup kaget ketika mendengar pemilihan ketua kelas seluruh kelas menatap diriku dengan tatapan sinis hanya karena saya mengajukan diri menjadi ketua kelas

“Hari ini pemilihan ketua kelas ya, kira kira siapa yang mau jadi kandidatnya?” tanya seorang guru di depan kelas

“Bu, saya bisa jadi ketua kelas bu! Selain saya pandai membaca dan ranking satu, saya juga bisa mendisiplinkan teman teman” Jawabku dengan lantang, semangat, penuh senyum sumringah seperti tokoh utama dalam film anak anak.

“Nggak bisa sin, ketua kelas harus cowok” jawab guruku dengan ramah

“Kok bisa? Kan semua anak cowok disini bodoh, nggak ada yang ranking 5 besar, dan semuanya nakal!”

“Iya sin, tapi pemimpin itu harus cowok!”

“Nggak bisa bu! Nanti sekelas jadi bodoh semua dan nggak bisa pintar seperti saya!!”

“Udah, jadi anak cewek itu harus nurut”

DEG!! Such a stupid statement which I will never forget!

Lumayan kaget!, itu pertama kali saya mendengarkan pernyataan tidak logis yang ada di dunia ini. Kalau ditarik garis ke belakang, ibarat resume, waktu itu memang hanya saya yang memiliki kapasitas membaca cepat. Di awal usia 7 tahun, saya memang sudah memaksakan diri menjadi orang dewasa dengan cara sok sok an membaca koran. Sosok mungil diriku itu, berusaha menghafal satu per satu huruf dengan mencocokkan setiap kata dalam media koran. Waktu itu saya belum mengenal ‘buku’, karena orang tua saya waktu itu belum mengenalkannya padaku. Mungkin akses yang lumayan limit atau sekedar memang mereka belum merasa urgent bagiku untuk mulai membaca buku.

Buku pertama yang kubaca merupakan sajak sajak puisi, dongeng dalam negeri, sastra terjemahan prancis, hingga tips beternak ayam. Sangat random memang, namun sejak mendengar kalimat guru tersebut. Sikecil yang tidak terima itu masih berkutat dan mencari jawaban sebisa yang ia mampu. Berusaha mencerna setiap baris kata yang ia baca, bertanya pada siapa saja, namun tentu saja, hingga menginjak akhir masa SMA, ia belum menemukan jawaban. Masih cukup gemas dengan setiap label dimana laki laki bisa menjadi pemimpin meski mereka bodoh.

(Seven) Teen, being independent is a freedom yet anxiety which growing my confidence to the next level.

“Ngapain bawa pisau? Lu mau ngebunuh siapa?” ucap salah satu laki laki yang menjadi kencan pertama saya sembari mengambil pisau di salah satu kantong tas saya yang memiliki ukuran cukup kecil.

There is no any guarantee that you would not rape me right?” jawabku sembari mengembalikan pisau mungil tersebut ke dalam saku jeans.

“Damn! Sin? Seriously? Awas hati hati disita kalau ketahuan satpam”

“Ya nggak apa apa, besoknya bisa beli lagi kan”

Masih terngiang di benakku, semester pertama kuliah membaca beberapa kali kasus pemerkosaan terjadi di beberapa kos sekitar kampus. Belum lagi beberapa kasus pelecehan seksual seperti begal payudara hingga teman lelaki yang cukup kurang ajar mengirim pesan mesum maupun permintaan tidak senonoh lainnya. Tahun pertama ngekos sendiri di dalam bilik mungil di antara kampus A dan B membuatku selalu was-was. Apalagi jarak antara lantai dua ke lantai satu yang cukup terjangkau dengan pintu utama yang selalu terbuka. Oleh karenanya, setiap tas yang kumiliki akan selalu hadir sebilah pisau kecil yang ‘mungkin’ bisa menjadi defence ketika dibutuhkan.

Usia tujuh belas itu membuat saya mengenal perasaan anxiety dan negative thinking berlebihan. Pertama kali hidup sendiri dan dipaksa keadaan untuk menjadi pribadi yang mandiri sembari tugas kuliah dan tanggung jawab organisasi yang membuntuti kemanapun pergi. Dengan berita mengerikan yang selalu hadir membuat masa itu menjadi masa kelabu dan hampir kehilangan arah.

Bisa dibilang hampir setiap hari saya menangis karena bingung memilih makanan yang tidak membuat gendut, pusing mengatur jadwal yang selalu unexpected, stress karena senioritas, hingga insecurity yang sangat sulit dikendalikan. Apalagi sebagai anak desa saya perlu banyak sekali belajar untuk beradaptasi dengan orang kota, memahami perilaku dan bahasanya, berusaha membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, hingga memproses segala informasi yang ada sebagai bahan analisis untuk bisa menjadi pembahasan yang sekedar menjadi basa basi untuk membangun pertemanan.

Ada juga waktu dimana perasaan anxiety itu cukup signifikan sampai saya menghabiskan 30 menit di dalam toilet hanya untuk menangis karena tidak memahami materi dan insecure dengan teman seangkatan yang rasanya jauh di atas saya. Belum lagi upaya belajar hingga dini hari yang berakhir remidi. Butuh ratusan kalimat penyemangat dan beberapa buku yang dibaca untuk sampai ke titik percaya diri itu.

Tapi flashback ke belakang, saya cukup bangga dengan diri saya yang bisa tidak hanya sekedar survive namun mampu riding the pace and work on it! Mungkin next saya bisa cerita perjalanannya yang lebih detail lagi.

Twenty (Seven), Decided to regrow my vision and elevate it as ultimate as possible

I always believe that 27 is my lucky number! I was born on the 27th and often found this number in every step of my journey! And yes, currently I am 27 y.o!!

I still remember that last year I decided to end my life and do some research on some of the suicide methods which less complicated or hurtful, which is impossible! I already plan my death and write down all the things I want as a checklist. Write all the flowers I wish on my graveyard, make a playlist for my corpse, and have a thousand flashbacks to appreciate my efforts to simply stay alive! It turns out to be addictive and becomes my daily activity to design a plan or any vision for my future. Moreover, I tend to be a perfectionist person to schedules everything. Therefore, before the 27th, I push myself to study harder while step by step acting like a seventeen-year-old girl.

Having my first IELTS which has the required score for master’s degree submission, applied to every university and scholarship I have dreamed of since 2016, playing my previous videos during my seventeen, dancing like a teenager, and growing my dreams as best as I could ever did. Unexpectedly, I attract a lot of positive energy which I need for my entire life! This year, I will Rebuild my old palace and make my fairytale dreamy vision a reality.

I hope more amazing experiences happen on my 27th

If you want to change anything in your life, change the channel and change the frequency by changing your thoughts.” Rhonda Byrne — The Secret

Jakarta, 1 Januari 2024

Sinta Amalia K S

--

--

Sinta Mind Palace

Own by Sinta Amalia Kusumastuti Sumulyo. This is my current active account.